Review Novel : Ours

02.09

 Ours

Penulis : Adrindia Ryandisza
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Penyunting : Nonie Pahmi
Perancang Sampul : @designgedang
Tahun Terbit : 2021
Tebal Buku : 208 halaman
ISBN : 978-602-06-5631-1
ISBN Digital : 978-602-06-5632-8

Sinopsis :

Menurutmu, mempunyai anak itu pilihan atau keharusan?

Latar belakang keluarga yang berbeda tak lantas membuat Prita dan Andi berdebat panjang saat diskusi tentang anak. Sebelum menikah, mereka sudah bersepakat untuk hidup tenang dan damai berdua saja sampai tua. Mereka bahagia. Sayangnya, prinsip mereka dianggap melenceng oleh keluarga Andi yang konservatif. Prita dianggap melawan kodrat. Beberapa perkataan dan perilaku anggota keluarga Andi membuat pasangan itu mengelus dada.

Situasi di sekitar mereka semakin mengancam. Kenzo, rekan kerja Prita, mulai terang-terangan mendekatinya. Belum lagi ibu yang menelantarkan Prita sejak kecil, tiba-tiba menuntut perhatiannya. Kedai kopi yang terancam bangkrut pun menguras pikiran Andi.

Keduanya tidak ingat lagi cara berbahagia. Komunikasi di antara mereka mulai terhambat. Namun, rumah tangga mereka terasa begitu riuh karena mulai terdengar suara-suara orang lain. Kehidupan Prita dan Andi pun tak lagi hanya milik berdua

Review :

Bisa dibilang, aku jatuh cinta dari kalimat pertama saat baca novel ini. Ini kesan pertama yang bikin makin suka dan makin tertarik untuk baca. Ceritanya mengalir saja. Sebenarnya judulnya sih "Ours" atau "kami" merujuk pada Prita dan Andi. Tapi nyatanya sama seperti kebanyakan kisah yang terjadi di sekeliling kita bahwa orang lain yang agak konservatif justru riuh dengan hal ini. Diceritakan dengan POV 3, alur novel ini terasa cepat di awal dan selanjutnya cukup padat. Konflik demi konflik muncul. 

"Enggak semua perempuan yang melahirkan siap menjadi Ibu. Kasihan si anak enggak bisa memilih siapa orang tuanya. Seharusnya enggak ada cetakan absolut dalam hidup, bahwa setiap pasangan yang menikah harus memiliki anak." -BAB SATU

Childfree, sepertinya masih menjadi hal yang tidak biasa bagi masyarakat kita. Paling sering ditanyakan alasannya kenapa, atau bahkan dituduh karena mengalami gangguan kesehatan sehingga tidak bisa memiliki anak. Padahal, kadang ada yang luput dipahami bahwa keputusan memiliki seorang anak itu adalah keputusan yang memiliki tanggungjawab yang besar. Jangan sampai malah nanti hanya memiliki anak tapi tidak bisa memberikan pengasuhan dan penghidupan yang layak. Karena anak tentunya tidak bisa memilih orangtua yang melahirkan mereka, namun para orang tua bisa memutuskan dan memilih hal yang paling bijak untuk anaknya. Kisah hidup Prita yang memiliki pengalaman kurang baik dengan orang tuanya membuat dia memutuskan untuk hidup bersama dengan Andi tanpa kehadiran anak. Tentunya keputusan untuk childfree memang harus didasari dengan pikiran terbuka dan penerimaan ya. 

"Menurutku, punya anak itu pilihan. Aku lebih memilih nggak punya anak daripada menyesali kehidupan kita yang berubah drastis. Apalagi kalau nggak mampu mengurusnya dengan maksimal. Bakal didera rasa bersalah terus-menerus" -BAB SATU

Aku suka sih dengan apa yang dilakukan oleh Prita dan Andi sebelum menikah, mereka mengomunikasikan apa yang diinginkan, hal-hal apa yang menjadi harapan dan tujuan mereka saat berumah tangga nantinya. Hal ini yang patut dicontoh oleh para pasangan sebelum menikah sih, jangan sampai setelah pernikahan itu terjadi ada yang merasa tidak satu visi misi dan pemahaman dalam berumahtangga. Tidak bisa lagi mengompromi satu sama lain, hingga akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Tokoh-tokoh disini, Prita adalah sosok wanita yang independent, mandiri, dan punya prinsip. Sementara Andi sangat bijak, pengertian dan sabar. Beruntung keduanya sepemikiran  ya, dan benar kalau dengan orang yang tepat, kita tidak akan merasa bosan hidup bersama. Kehadiran ibu Andi, kemudian Fitri, Kenzo, sosok-sosok dengan karakter seperti mereka mudah sekali ditemukan di kehidupan nyata kita. Aku sempat merasa kesal dan seudzon sama salah satu karakter, tapi akhirnya aku paham kalau dia hanya mencoba membantu dan jujur, ngga lebih.

Novel ini terasa sangat dekat dan realistis. Ketika menutup novel ini, aku merasa puas dan lega. Semua konflik terselesaikan dengan baik, meski sempat ketar-ketir karena beberapa bab terakhir gong konfliknya muncul. Endingnya dieksekusi dengan baik. Lewat novel ini, aku kembali mengingat bahwa komunikasi adalah kunci keberhasilan suatu hubungan. Jangan menyelesaikan masalah saat sama-sama lagi emosi. Jangan banyak dengerin kata orang, karena kita justru senewen alih-alih terbantu. Hidup kita akan berantakan. Lebih baik, gimana caranya kita cari cara agar tidak bosan dengan pasangan dan hidup bersama sepanjang yang kita bisa.

"Kita hanya perlu tutup telinga. Ini hidup kita. Kita nggak bisa mengendalikan orang untuk berpikir atau ngomong apa, tapi kita bisa mengendalikan hidup kita." -BAB TIGA PULUH SATU

You Might Also Like

0 komentar