Review Novel : Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

07.34

JATUH CINTA ADALAH CARA TERBAIK UNTUK BUNUH DIRI

Penulis                                   : Bernard Batubara
Penerbit                                 : Gagas Media
Editor                                      : Ayuning & Gita Romadhona
Penyelaras Aksara               : Widyawati Oktavia
Desain Sampul                     : Levina Lesmana
 Penata Letak                        : Erina Puspitasari
Penyelaras Tata Letak        : Landi A. Windoko
Ilustrator Sampul dan Isi  : IdaBagus Gede Wiraga
Tahun Terbit                         : 2014
Tebal Buku                            : 294 halaman

“Aku tidak bersepakat dengan banyak hal, kau tahu? Kecuali, kalau kau bilang bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Untuk hal itu, aku setuju.”
Kebanyakan orang lebih senang menceritakan sisi manis dari cinta. Sedikit sekali yang mampu berterus terang mengakui dan mengisahkan sisi gelapnya. Padahal, meski tak dinginkan, selalu ada keresahan yang tersembunyi dalam cinta.
Bukankah kisah cinta selalu begitu? Di balik hangat pelukan dan panasnya rindu antara dua orang, selalu tersimpan bagian muram dan tak nyaman. Sementara, setiap orang menginginkan cinta yang tenang-tenang saja.
Cinta adalah manis. Cinta adalah terang. Cinta adalah putih. Cinta adalah senyum. Cinta adalah tawa.
Sayangnya, cinta tak sekedar manis. Cinta tak sekedar terang. Cinta tak melulu tentang senyum dan tawa. Ini kisah cinta yang sedikit berbeda. Masih beranikah kau untuk jatuh cinta?
***

            “Hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu..” Orang Yang Paling Mencintaimu, 174.
            Masih susah untuk memahami kalimat tersebut? Seharusnya, mereka yang paling mencintaimu tidak akan pernah membuatmu depresi hingga bunuh diri. Tapi, justru sebaliknya. Tanpa disadari, kau akan ‘bunuh diri’ ketika mencinta.
            “Jika kau belum gila karena cinta, kau masih memberi hatimu setengah-setengah. Dan, kau tak hanya akan gagal mendapatkan cinta, tapi hal-hal lain juga dalam hidupmu jika kau memberi hati setengah-setengah.” Nyctophilia, 186
Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri adalah buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh Bernard Batubara. Buku ini menjadi bukunya yang ke tujuh, memuat 15 buah cerpen yang memiliki tema yang sama. Cinta yang kelam.
            Pemilihan warna ungu sebagai warna sampul ternyata memiliki makna tersendiri. Menurut Bara, warna cinta tidak selamanya merah (bahagia) atau biru (sedih) tetapi merupakan kombinasi antara keduanya yaitu ungu. Sebagai representasi cinta yang tak hanya memberi suka tapi juga memberikan luka.
            Beberapa cerpen dalam buku ini sudah pernah diterbitkan di media cetak. Tidak ada klimaks pada buku ini, karena penyusunannya tidak berdasarkan alur. Setiap cerita memiliki taste tersendiri. Bara memuat beberapa kisah cinta yan bersifat lokal khususnya dari daerah Kalimantan tapi tetap terkesan dark. Sudut pandang penceritaan diambil secara berbeda. Cerita tidak selalu tentang sepasang kekasih, tapi lebih bersifat universal. Bahkan jatuh cinta dengan mereka yang berbeda dunia
“Kalian tak mengerti perkara cinta. Mana bisa aku mengatur hati ini hendak jatuh kepada siaa. Apakah hantu apakah manusia. Mana bisa?” Nyanyian Kuntilanak, 19
“Mungkin kau akan bertanya, mengapa aku tidak jatuh cinta kepada malaikat saja, dengan sesamaku? … Kau bisa jatuh cinta kepada orang yang sangat berbeda darimu, bukan? Meski hal itu akan membawa masalah besar bagi dirimu sendiri.” Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, 286.
Cerpen yang menjadi favorit saya adalah Seorang Perempuan di Loftus Road, cerpen yang ditulis sebagai balasan dari cerpen karya Sungging Raga  berjudul Sebatang Pohon di Loftus Road. Hanya dengan membaca, tapi mampu menggugah perasaan. Penggambarannya sangat apik dan emosional, ditulis dari sudut pandang perempuan yang tidak lelah menunggu lelaki yang dicintainya hingga menjelma sebagai sebatang pohon.
Cerpen Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah dan Nyctophilia, misalnya. Cukup membuat saya terkejut pada akhir cerita. Tapi secara keseluruhan, setiap cerpen memiliki hal unik sebagai pembeda tapi tetap rasa yang sama, kesan lain dari cinta yang membuat luka.


Diikutkan dalam #ReviewMaret @momo_DM @danissyamra @ridoarbain 

Review Novel : Morning, Gloria

07.21



MORNING, GLORIA
Destiny of Twilight and the Dawn.

Penulis                                    : Devi Eka
Penerbit                                 : De Teens
Editor                                     : Floria Aemilia
Desain Cover                         : Aan_Retiree
Layouter                                : Fitri Raharjo
Pracetak                                 : Endang
Tahun Terbit                         : 2014
Tebal Buku                            : 310 halaman

            Gloria, ia tak menyukai senja. Baginya senja hanya akan memadamkan semua harapannya. Namun, kini seorang lelaki senja hadir dan menelusup kedalam hatinya. Avond, seorang lelaki yang mencintai masa lalunya. Segenggam cinta yang tak tersampaikan. Sebongkah rindu yang tak pernah usai. Tapi itu dulu, sebelum gadis fajar itu muncul di hadapannya.
            Kisah gadis fajar dan lelaki senja. Kemana cinta mereka bermuara? Ataukah mereka akan seperti fajar dan senja yang tidak pernah bertemu?
***
            Novel Morning, Gloria ini adalah Novel kedua yang diterbitkan oleh penulis. Setelah sebelumnya berhasil menerbitkan The Love is (not) Blue di tahun 2013. Gloria Reytafa, tokoh utama di novel ini akan mengajak pembaca menikmati keindahan Negara Belanda tentunya bersama romansa cinta yang baru pertama kali ia rasakan (lagi).

            Adalah Avond van der Linden, lelaki bermata tortoise yang membawa desir-desir tak biasa sejak pertama kali mereka bertemu di Perpustakaan Universitas Leiden. Hubungan pertemanan antara Gloria, si Gadis Fajar dan Avond, si Penyuka Senja berjalan mulus dan menjadi semakin rumit seiring waktu.

            Satu hal yang saya suka dari gaya menulis Vivi adalah mengalunkan cerita dengan pemilihan kata dan kalimat yang pas, puitis dan romantis. Novel ini juga menyajikan banyak kejutan yang tidak saya duga. Obyek yang dipilih oleh penulis untuk melengkapi cerita juga sangat berbeda. Pembaca diajak untuk menyelami karakter setiap obyek yang punya makna kuat secara filosofis. Hal ini membuat saya terkagum-kagum.

            Hanya saja ada beberapa hal yang menurut saya kurang greget! Misalnya terlalu banyak kebetulan dalam kisah hidup Gloria misalnya sahabat kecil Gloria yang mengajaknya menikmati fajar. Ada beberapa part yang dituliskan secara terburu-buru, tidak terlalu tergambar jelas tetapi tiba-tiba saja sudah terjadi tanpa penyebab.

            “Fajar dan senja tak pernah menyaru. Mungkin kami seperti itu. Kami ditakdirkan tidak untuk saling melengkapi tapi untuk saling berbagi. Bukan untuk satu sama lain, tapi untuk dengan yang lain.” Ending cerita ini diluar ekspektasi saya sebelumnya. Sangat manis ^^