Review Novel : Still Alice

06.57



STILL ALICE

Penulis                         : Lisa Genova
Penerbit                       : Penerbit Esensi(Imprint Penerbit Erlangga)
Tahun Terbit                : 2015
Tebal Buku                  : 328 Halaman

“Gangguan ingatan seperti ini bagaikan serangan bertubi-tubi yang sangat membingungkan”
-halaman 30

            Alice Howland, guru besar di Harvard University seolah kehilangan segalanya ketika gangguan ingatan perlahan namun pasti merusak hari-harinya. Berawal dari hal-hal sederhana seperti tersesat pada jalan yang sering dilaluinya hingga kemudian semakin memburuk hingga ia tidak bisa lagi menjalani kehidupannya sebagai seorang dosen, menjadi pembicara dan melakukan segala sesuatu yang ia suka berkaitan dengan dunia psikologi.
            Tak hanya itu, perlahan Alice hampir putus asa karena seolah kehilangan keluarganya. Alice sempat merasa bahwa John, suaminya mulai meninggalkan dirinya ketika ia lebih perduli pada aktivitas penelitiannya. Hikmah positifnya, selama mengalami penyakit Alzheimer ini hubungan Alice dengan Lydia, putri bungsunya yang sebelumnya bermasalah bisa membaik bahkan semakin dekat.
***
            . Penyakit Alzheimer merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui DNA Autosomal Dominan. Peluang untuk mendapatkan penyakit ini sebanyak 50% untuk mewarisi mutasi gen ini. Serangan dini Alzeimer terjadi sebanyak 10% dialami oleh orang yang berusia kurang dari usia 50 tahun. Hal ini terjadi karena protein DNA yang mengalami penyimpangan dari mutasi gen.
            Novel ini merupakan novel yang sangat informatif karena pembahasan mengenai Alzheimer ditulis secara mendalam melalui dialog antar tokoh dan narasinya. Sejak bab awal, pembaca sudah diajak untuk mengikuti awal kecurigaan adanya yang dialami oleh Alice dengan beberapa contoh sederhana seperti ia lupa tempatnya meletakkan charger blackberry, kehilangan kata-kata yang sering ia ucapkan dan tiba-tiba tersesat di jalan yang sering ia lalui. Penceritaannya yang bertahap tiap babnya membuat pembaca tidak kehilangan detail perkembangan penyakit yang diserang oleh Alice.
            Setting, penokohan dan latar belakang keluarga juga diceritakan dengan jelas. Dari ikatan kekeluargaan dan hubungan emosional antar keluarga ini terungkap salah satu faktor pencetus terjadinya serangan dini Alzeimer pada Alice yang ternyata didapatkan dari gen dominan ayahnya.
Kita juga akan mendapat banyak ilmu tentang dunia medis terutama yang berkaitan dengan psikologi linguistic, yang ditekuni oleh Alice dan juga tentang penyakit Alzeimer. Penulis sangat totalitas dalam melakukan riset dan menuangkannya ke dalam bentuk novel sehingga menjadi media yang bagus untuk memudahkan memahami penyakit Alzeimer tersebut.  Bagi orang awam akan menjadi lebih care, sedangkan bagi para praktisi yang berkecimpung di dunia medis akan semakin memahami penyakit ini.
            Dengan membaca novel ini, kita diharapkan bisa bersikap seperti Alice. Sering kali, masalah ingatan dianggap wajar seiring dengan pertambahan usia atau banyaknya beban pikiran dalam kehidupan sehari-hari. Memang ini merupakan hal yang sepele, tetapi justru bisa menjadi sangat berbahaya jika tidak ditanggulangi dengan cepat. Sikap Alice yang waspada ini patut dicontoh oleh pembaca. Ketika ia merasa otaknya terganggu ia langsung mengonsultasikannya ke dokter dan menjalani serangkaian tes untuk membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, ia juga mengonsumsi obat-obatan dan melakukan tindakan pencegahan terhadap anak-anaknya yang memiliki kemungkinan 50% untuk mewarisi penyakit yang sama.
            Novel Still Alice yang merupakan karya perdana Lisa Genovaini termasuk dalam #1 New York Time Best Seller dan sudah diangkat ke layar lebar dibintangi oleh Julianne Moore, Kristen Stewart, Alec Baldwin yang juga memperoleh berbagai penghargaan bergengsi.

Review Novel : Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

07.34

JATUH CINTA ADALAH CARA TERBAIK UNTUK BUNUH DIRI

Penulis                                   : Bernard Batubara
Penerbit                                 : Gagas Media
Editor                                      : Ayuning & Gita Romadhona
Penyelaras Aksara               : Widyawati Oktavia
Desain Sampul                     : Levina Lesmana
 Penata Letak                        : Erina Puspitasari
Penyelaras Tata Letak        : Landi A. Windoko
Ilustrator Sampul dan Isi  : IdaBagus Gede Wiraga
Tahun Terbit                         : 2014
Tebal Buku                            : 294 halaman

“Aku tidak bersepakat dengan banyak hal, kau tahu? Kecuali, kalau kau bilang bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Untuk hal itu, aku setuju.”
Kebanyakan orang lebih senang menceritakan sisi manis dari cinta. Sedikit sekali yang mampu berterus terang mengakui dan mengisahkan sisi gelapnya. Padahal, meski tak dinginkan, selalu ada keresahan yang tersembunyi dalam cinta.
Bukankah kisah cinta selalu begitu? Di balik hangat pelukan dan panasnya rindu antara dua orang, selalu tersimpan bagian muram dan tak nyaman. Sementara, setiap orang menginginkan cinta yang tenang-tenang saja.
Cinta adalah manis. Cinta adalah terang. Cinta adalah putih. Cinta adalah senyum. Cinta adalah tawa.
Sayangnya, cinta tak sekedar manis. Cinta tak sekedar terang. Cinta tak melulu tentang senyum dan tawa. Ini kisah cinta yang sedikit berbeda. Masih beranikah kau untuk jatuh cinta?
***

            “Hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu..” Orang Yang Paling Mencintaimu, 174.
            Masih susah untuk memahami kalimat tersebut? Seharusnya, mereka yang paling mencintaimu tidak akan pernah membuatmu depresi hingga bunuh diri. Tapi, justru sebaliknya. Tanpa disadari, kau akan ‘bunuh diri’ ketika mencinta.
            “Jika kau belum gila karena cinta, kau masih memberi hatimu setengah-setengah. Dan, kau tak hanya akan gagal mendapatkan cinta, tapi hal-hal lain juga dalam hidupmu jika kau memberi hati setengah-setengah.” Nyctophilia, 186
Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri adalah buku kumpulan cerpen yang ditulis oleh Bernard Batubara. Buku ini menjadi bukunya yang ke tujuh, memuat 15 buah cerpen yang memiliki tema yang sama. Cinta yang kelam.
            Pemilihan warna ungu sebagai warna sampul ternyata memiliki makna tersendiri. Menurut Bara, warna cinta tidak selamanya merah (bahagia) atau biru (sedih) tetapi merupakan kombinasi antara keduanya yaitu ungu. Sebagai representasi cinta yang tak hanya memberi suka tapi juga memberikan luka.
            Beberapa cerpen dalam buku ini sudah pernah diterbitkan di media cetak. Tidak ada klimaks pada buku ini, karena penyusunannya tidak berdasarkan alur. Setiap cerita memiliki taste tersendiri. Bara memuat beberapa kisah cinta yan bersifat lokal khususnya dari daerah Kalimantan tapi tetap terkesan dark. Sudut pandang penceritaan diambil secara berbeda. Cerita tidak selalu tentang sepasang kekasih, tapi lebih bersifat universal. Bahkan jatuh cinta dengan mereka yang berbeda dunia
“Kalian tak mengerti perkara cinta. Mana bisa aku mengatur hati ini hendak jatuh kepada siaa. Apakah hantu apakah manusia. Mana bisa?” Nyanyian Kuntilanak, 19
“Mungkin kau akan bertanya, mengapa aku tidak jatuh cinta kepada malaikat saja, dengan sesamaku? … Kau bisa jatuh cinta kepada orang yang sangat berbeda darimu, bukan? Meski hal itu akan membawa masalah besar bagi dirimu sendiri.” Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, 286.
Cerpen yang menjadi favorit saya adalah Seorang Perempuan di Loftus Road, cerpen yang ditulis sebagai balasan dari cerpen karya Sungging Raga  berjudul Sebatang Pohon di Loftus Road. Hanya dengan membaca, tapi mampu menggugah perasaan. Penggambarannya sangat apik dan emosional, ditulis dari sudut pandang perempuan yang tidak lelah menunggu lelaki yang dicintainya hingga menjelma sebagai sebatang pohon.
Cerpen Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah dan Nyctophilia, misalnya. Cukup membuat saya terkejut pada akhir cerita. Tapi secara keseluruhan, setiap cerpen memiliki hal unik sebagai pembeda tapi tetap rasa yang sama, kesan lain dari cinta yang membuat luka.


Diikutkan dalam #ReviewMaret @momo_DM @danissyamra @ridoarbain 

Review Novel : Morning, Gloria

07.21



MORNING, GLORIA
Destiny of Twilight and the Dawn.

Penulis                                    : Devi Eka
Penerbit                                 : De Teens
Editor                                     : Floria Aemilia
Desain Cover                         : Aan_Retiree
Layouter                                : Fitri Raharjo
Pracetak                                 : Endang
Tahun Terbit                         : 2014
Tebal Buku                            : 310 halaman

            Gloria, ia tak menyukai senja. Baginya senja hanya akan memadamkan semua harapannya. Namun, kini seorang lelaki senja hadir dan menelusup kedalam hatinya. Avond, seorang lelaki yang mencintai masa lalunya. Segenggam cinta yang tak tersampaikan. Sebongkah rindu yang tak pernah usai. Tapi itu dulu, sebelum gadis fajar itu muncul di hadapannya.
            Kisah gadis fajar dan lelaki senja. Kemana cinta mereka bermuara? Ataukah mereka akan seperti fajar dan senja yang tidak pernah bertemu?
***
            Novel Morning, Gloria ini adalah Novel kedua yang diterbitkan oleh penulis. Setelah sebelumnya berhasil menerbitkan The Love is (not) Blue di tahun 2013. Gloria Reytafa, tokoh utama di novel ini akan mengajak pembaca menikmati keindahan Negara Belanda tentunya bersama romansa cinta yang baru pertama kali ia rasakan (lagi).

            Adalah Avond van der Linden, lelaki bermata tortoise yang membawa desir-desir tak biasa sejak pertama kali mereka bertemu di Perpustakaan Universitas Leiden. Hubungan pertemanan antara Gloria, si Gadis Fajar dan Avond, si Penyuka Senja berjalan mulus dan menjadi semakin rumit seiring waktu.

            Satu hal yang saya suka dari gaya menulis Vivi adalah mengalunkan cerita dengan pemilihan kata dan kalimat yang pas, puitis dan romantis. Novel ini juga menyajikan banyak kejutan yang tidak saya duga. Obyek yang dipilih oleh penulis untuk melengkapi cerita juga sangat berbeda. Pembaca diajak untuk menyelami karakter setiap obyek yang punya makna kuat secara filosofis. Hal ini membuat saya terkagum-kagum.

            Hanya saja ada beberapa hal yang menurut saya kurang greget! Misalnya terlalu banyak kebetulan dalam kisah hidup Gloria misalnya sahabat kecil Gloria yang mengajaknya menikmati fajar. Ada beberapa part yang dituliskan secara terburu-buru, tidak terlalu tergambar jelas tetapi tiba-tiba saja sudah terjadi tanpa penyebab.

            “Fajar dan senja tak pernah menyaru. Mungkin kami seperti itu. Kami ditakdirkan tidak untuk saling melengkapi tapi untuk saling berbagi. Bukan untuk satu sama lain, tapi untuk dengan yang lain.” Ending cerita ini diluar ekspektasi saya sebelumnya. Sangat manis ^^

First Chapters Commentator : Ally - All These Lives

23.18

Ally : All These Lives



Penulis                                     : Arleen A
Penerbit                                   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Editor                                      : Dini Novita Sari
Desain Sampul                        : Iwan Mangopang
Tahun Terbit                            : 2015
Tebal Buku                              : 264 halaman

Apa yang akan kaulakukan jika satu menit yang lalu kau anak tunggal orangtuamu, lalu satu menit kemudian ada seseorang yang muncul entah dari mana dan duduk di sampingmu mengaku sebagai adikmu? Apa yang kaulakukan jika kau menemukan foto di meja, menampilkan dirimu dan seseorang yang belum pernah kaulihat? Apa yang kaulakukan jika kau pulang ke rumah dan menemukan bahwa di dalam rumah itu sudah ada dirimu yang lain?
Kehidupan Ally memang bukan kehidupan biasa. Kerap kali ia mendapati dirinya ditempatkan dalam kehidupan yang seolah miliknya, tapi ternyata bukan. Dan tiba-tiba kata “pulang” punya makna yang baru. Apakah Ally akan memiliki kesempatan untuk “pulang”? Akankah ia bisa kembali pada cinta yang ditinggalkannya di kehidupannya yang lain?
Ini bukan kisah biasa. Ini kisah yang akan membuatmu berpikir kembali tentang arti hidup dan arti cinta yang sebenarnya.
***
            Review ini dibuat untuk mengikuti Challenge “First Chapters Commentator”. Beberapa waktu yang lalu, saya mengirimkan e-mail berisikan keinginan saya untuk mengikuti kompetisi ini. Penulisnya pun langsung mengirimkan dua bab pertama bersama dengan cover bukunya. Novel ini terbit pada tanggal 22 Januari 2015.
            Berawal dari kejadian aneh yang menimpa Ally pada usia 10 tahun. Hanya karena sensasi kesemutan di lengan dan kepalanya, seluruh dunia Ally berubah dalam hitungan detik. Ally yakin tidak ada yang berubah darinya hingga ia menyadari duduk semeja dengan bocah laki-laki yang dikatakan oleh ibunya sebagai Albert, adiknya. Bocah berambut kemerahan itu berusia 5 tahun dan Ally sama sekali tidak ingat apapun.
            Kejadian aneh itu muncul lagi ketika Ally duduk di bangku SMA. Sensasi kesemutan itu terasa lagi di lengan dan kepalanya. Seluruh dunia Ally lagi-lagi berubah dalam hitungan detik. Namun semuanya tampak baik-baik saja, hingga ibunya menangis. Pasti sudah ada kejadian yang sama sekali tidak diingatnya.
            Dua bab pertama hampir sebagian besar menggunakan narasi, sedikit diselipkan dialog antar tokoh. Tetapi untungnya diselamatkan oleh gaya penulis dalam bercerita sangat menarik, saya dengan cepat melahap tulisan tersebut karena bahasanya sangat menarik dan ringan sehingga tidak membosankan. Bab satu dan bab dua juga seperti mengulang-ulang, penulis menceritakan rutinitas dalam aspek yang sama. Mungkin dibuat sebagai perbandingan ketika kejadian kesemutan pertama dan kejadian kesemutan kedua kalinya.
Dua bab pertama juga mampu mengulik rasa penasaran saya, tentang kejadian yang dialami oleh Ally. Orang-orang di sekitar Ally pun menganggap bahwa dirinya aneh, tentu saja ketidakberadaan yang dialami oleh Ally bukanlah lelucon. Sensasi kesemutan mengubah dunianya secara cepat? Apakah ini ada hubungannya dengan psikologis, misteri atau mungkin Ally semacam penjelajah waktu? Pembaca dapat mengikuti langsung alur cerita ini seperti apa.