Review Novel : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

01.48

DAUN YANG JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN


Penulis                                     : Tere Liye
Desain dan Ilustrasi Sampul   : eMTe
Penerbit                                   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                            : 2010 (cetakan keduapuluh empat : April 2016)
Jumlah Halaman                      : 264 halaman

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona atau entahlah itu muncul dan tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah… biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun.. daun yang tidak pernah membenci angin meski harus teneggutkan dari tangkai pohonnya.
***

“Lihatlah pengamen kecil yang kakinya dulu tertusuk paku payung. Gadis yang menangis karena kakinya berdarah! Lihatlah! Dunia seharusnya belajar banyak darinya.”
-halaman 129

Sepeninggal ayah tiga tahun lalu, keluarga Tania mengalami keterpurukan. Ibu, Tania dan Dede menjalani kehidupan yang sangat berat. Mereka berusaha untuk bertahan hidup, dengan uang seadanya di sebuah rumah kardus. Tania yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar terpaksa berhenti sekolah dan membantu ibunya mencari uang dengan mengamen bersama adiknya.

Namun kehidupan tidak selamanya buruk. Suatu hari, Tania bertemu dengan seorang ‘malaikat’ ketika sedang mengamen dalam bus kota. Dia seorang laki-laki muda, berusia sekitar 25 tahun yang sama seperti kebanyakan penumpang bus malam itu -pekerja kantoran yang tampak sangat lelah. Satu-satunya penumpang yang peduli ketika Tania  terluka karena terkena tusukan paku payung. Dia, orang yang akhirnya menjadi bagian keluarga Tania dan memberikan pengaruh besar bagi kehidupan mereka. Bahkan ketika ibu mereka menyusul sang ayah ke surga, Tania dan Dede tetap melanjutkan hidupnya dengan tegar bersama dengan Dia, melanjutkan hidup dengan bersemangat untuk masa depan yang lebih baik.

“Aku bukan daun! Dan aku tak pernah mau menjadi daun! Aku tak pernah menginginkan perasaan ini, kan? Dia datang begitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti kecambah disiram hujan. Aku sungguh tidak pernah menginginkan semua perasaan ini.”
-halaman 154

Dia hadir sebagai sosok Ayah, kakak yang telah lama dirindukan oleh Tania. Saat itu ia memang masih sebelas tahun dan laki-laki itu dua puluh lima tahun, ia tidak mengerti tentang perasaannya. Tapi makin lama, Tania semakin tidak bisa mengendalikannya. Perasaan terlarang yang seharusnya tidak ia miliki terhadap Dia.
***

Novel ini lebih dari sekedar kisah cinta yang tidak biasa. Kisah yang dekat dengan kehidupan  dan memberikan pelajaran bermakna, khas Tere Liye. Sangat menginspirasi utamanya bagi yang merasa kurang beruntung untuk selalu bersemangat, tidak pernah putus asa dan melakukan yang terbaik demi dirinya, keluarga dan masa depannya. Soal pemilihan diksi, penyampaikan makna sesuatu secara filosofis, dan kemampuan menaik-turunkan emosi tidak usah diragukan lagi.

Penggunaan POV 1 dari sudut pandang Tania menurutku sangat berhasil, untuk seorang author laki-laki. Semua karakternya kuat dan membuatku merasa kagum dengan mereka. Tania yang tidak pernah menyerah dan selalu membanggakan. Dede yang tumbuh  menjadi bijak karena ditempa oleh kehidupan. Danar dengan kemurahan hatinya dan Ratna yang sangat tegar menghadapi semuanya.

Bersetting di sebuah toko buku, novel ini menggunakan alur maju mundur. Perpindahan masa lalu dan masa sekarang diceritakan dengan sangat smooth, seringnya tidak disadari bahwa pembaca diajak mengikuti jejak kehidupan tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan perubahan-perubahan yang cepat. Banyak teka-teki muncul, hingga terjawab dengan ending yang tidak terduga.

Suka banget sama cara penulis untuk menyimpan ‘yang terbaik’ sebagai penutup. Juara deh! Mungkin banyak yang akan menyayangkan kisah ini. Tapi nyatanya kita memang tidak bisa membahagiakan semua orang dengan pilihan-pilihan kita. Pro kontra akan selalu ada. Yang harus kita pastikan adalah bahwa pilihan itu terbaik bagi kita, sebaik dan seobyektif mungkin. Novel ini mengajak kita untuk melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda.

“Bahwa hidup harus menerima.. penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti.. pengertian yang benar. Bahwa hidup harus meahami… pemahaman yang tulus. Tidak perduli lewat apa penerimaan, pengertian dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyedihkan”

 -halaman 196

You Might Also Like

0 komentar